Minggu, 09 Oktober 2011

Abdullah bin Mubarak

Julukannya Abu ‘Abdirrahman, ayahnya orang Turki yang bekerja kepada seorang pedagang dari Bani Handzalah. Ibunya juga orang Turki dari suku Khawarizmi. Beliau dilahirkan tahun 118 H, ada yang berpendapat 119 H.
Dari Al Hasan, ia Berkata, “Ibunda Ibnul Mubarak adalah orang Turki. Kemiripan Ibnul Mubarak dengan orang Turki sangat mencolok. Kalau beliau membuka bajunya, tidak terlihat banyak bulu pada dada. Salah seorang keluarganya memberitahu aku bahwa beliau belum pernah Sekalipun masuk ke tempat pemandian.”
Rumah Ibnul Mubarak sangat besar, terletak di Marwa. Halaman rumahnya berukuran 50 x 50 hasta (1 hasta sekitar 50 cm). jika anda ingin melihat ahli ilmu, ahli ibadah dan lelaki berwibawa yang juga dihormati di Marwa, maka anda akan jumpai rumah tersebut. Setiap hari, banyak sekali orang yang berkumpul di rumahnya. Mereka bersama-sama mengkaji ilmu hingga ibnul Mubarak keluar dari kamarnyadan mereka pun berkumpul di sekeliling beliau. Ketika ibnul Mubarak pindah ke Kufah, maka beliau tinggal di sebuah rumah kecil. Biasanya beliau keluar untuk shalat, lalu kembali lagi kerumahnya. Beliau sangat jarang keluar rumah dan tidak pernah lagi didatangi banyak orang. Ketika itu, aku Berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdurrahman, tidakkah engkau merasa terasing disini, jika engkau bandingkan dengan rumahmu di Marwa?” beliau menjawab, “Aku menghindari marwa karena hendak menghindari sesuatu yang engkau sukai, dan sekarang aku tinggal disini karena menyukai sesuatu yang engkau membencinya. Dulu, saat aku di Marwa, tidak ada masalahpun kecuali mereka adukan kepadaku dan mereka mengatakan, “Tanyakan kepada Ibnul Mubarak, sedangkan di sini aku terbebas dari semua itu.”
“Jadilah orang yang tak dikenal, yang membenci ketenaran, dan jangan tampakkan bahwa dirimu tidak suka terkenal untuk mengangkat martabar diri. Sebab, kalau engkau mengaku-aku zuhud itu sama artinya kezuhudanmu telah roboh, karena engkau menyeret dirimu agar disanjung dan dipuji.”
Suatu hari aku bersama Ibnul Mubarak mendatangi amta air. Orang-orang biasa minum dari sini. Beliau mendekat ke mata air tersebut dan minum dari sana, Sementara orang-orang tidak mengenal beliau. Mereka berdesak-desakan dan mendorong beliau. Ketika beliau keluar dari sana, beliau Berkata kepadaku, “Seperti inilah hidup yang sebenarnya,” Maksud beliau ketika kita tidak dikenal dan tidak dihormati oleh orang lain.
Seorang ulama’ bernama ‘Abdurrahman bin Mahdi Berkata, “Kedua mataku tidak pernah melihat orang yang lebih tulus menasehati umat islam dari Ibnu Mubarak.”
Dari Husain bin Hasan Al Mirwazi ia Berkata, “Ibnul Mubarak Berkata, “Jadilah orang yang tak dikenal, yang membenci ketenaran, dan jangan tampakkan bahwa dirimu tidak suka terkenal untuk mengangkat martabar diri. Sebab, kalau engkau mengaku-aku zuhud itu sama artinya kezuhudanmu telah roboh, karena engkau menyeret dirimu agar disanjung dan dipuji.”
Dari Asy’ats bin Syu’bah Al Mushishi, ia berkata, “Suatu ketika Hurun Ar Rasyid datang ke Riqqoh (nama suatu daerah), lalu orang-orang keluar menyambut Ibnul Mubarak. Mereka berdesak-desakan hingga sandal-sandal putus dan debu berterbangan. Lalu muncullah seorang wanita, budak khalifah Harun Ar Rasyid, dari sebuh bangunan kayu. Ketika melihat orang-orang Begitu ramai, ia beratnya, “Ada apa?” orang-orang menjawab, “Orang alimdari KHurosan tiba di Riqqah, namanya ‘Abdullah bin Mubarak.” Maka wanita itu berkata, “Demi Allah, ini adalah raja, tapi bukan raja Harun yang tidak bisa mengumpulkan orang-orang kecuali dengan polisi dan tentara.”
Dari Qosim bin Muhammad, ia berkata, “Aku pernah berpergian bersama Ibnul Mubarak. Ketika itu, yang sering terlintas dalam pikiranku adalah, mengapa orang ini dilebihkan di atas kami sampai ia Begitu terkenal di kalangan manusia. Padahal, kalau dia shalat, toh kami juga shalat. Kalau dia berpuasa, kami juga berpuasa. Kalau dia berperang, kamipun juga berperang dan kalau dia berhaji, kamipun sama.”
Qosim melanjutkan, “Suatu malam, saat kami tengah melakukan perjalanan menuju Syam, kami makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampunya padam. Maka, salah satu dari kami keluar rumah untuk mencari penerangan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa lampu. Maka aku lihat wajah Ibnu Mubarak, ternyata jenggotnya sudah basah dengan air mata. Melihat itu, aku Berkata dalam hati, “Kiranya dengan rasa takut seperti ini ia dilebihkan diatas kami.” Mungkin, ketika lampu padam dan suasana gelap gulita, beliau teringat hari kiamat.
Nu’aim bin Hammad Berkata, “Ibnul Mubarak lebih banyak duduk di rumah, maka ditanyakan kepada beliau, “Tidakkah anda merasa kesepian?” beliau menjawab, “Mana mungkin aku kesepian sementara aku bersama Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (Yang beliau Maksud adalah bersama Hadits nabi shalallahu ‘alaihi wasallam)
Demikianlah sekelumit kisah tentang sosok Ibnul Mubarak, tentunya masih sangat banyak riwayat-riwayat yang mengkisahkan tentang keagungan beliau. Semoga kita dapat senantiasa meneladai beliau amien. (Muhammad)

Reference: disariakan dari kitab “Bertakwa tapi tidak di kenal.”

Sabtu, 11 Juni 2011

Sang Pejuang "Baro' bin Malik"

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat rupa kamu, penampilan kamu, tetapi Allah melihat niat kamu, amal kamu. beruntunglah orang-orang yang dianggap rendah daripada pandangan manusia, tetapi sangat tinggi dalam pandangan Allah."

Rambutnya kerinting, tubuhnya kurus keding dan kulitnya cukup hitam. Orang memandang lekeh kepadanya dan segan bertemu dengan dia.. Tetapi walaupun begitu, dia telah membuktikan keberaniannya sanggup menewaskan ratusan orang musyrik dalam beberapa kali perang tanding satu lawan satu. Belum termasuk yang ditewaskannya dalam perang berkecamuk.

Sesungguhnya dia pemberani yang pantang mundur. Khalifah ‘Umar bin Al-Khattab pernah menulis surat kepada para panglima, "Janganlah mengangkat Al Bara’ bin Malik menjadi panglima pasukan muslimin, karena dikhuatirkan dengan keberaniannya yang luar biasa itu akan membahayakan tentara muslimin."



Al-Bara’ bin Malik adalah saudara kandung Anas bin Malik, khadam (pelayan) Rasulullah. Seandainya diceritakan kisah kepahlawanan Al-Bara’ semuanya, sudah tentu terlalu banyak. Al Bara’ juga dikenal sebagai seorang ksatria dalam berbagai peperangan karena dia telah berhasil menaklukkan 100 pasukan musuh dengan cara bertarung satu melawan satu. Kerana itu cukuplah sebuah kisah saja, mudah-mudahan dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang kepahlawanannya.

Kisah ini terjadi tidak berapa lama sesudah Rasulullah wafat. Ketika itu beberapa kabilah ‘Arab murtad dari agama Islam secara beramai-ramai, sebagaimana mulanya mereka masuk Islam beramai-ramai. Akhirnya yang tinggal dalam Islam hanyalah para penduduk Makkah, Madinah, Thaif, dan beberapa kelompok yang berselerak di sana-sini. Mereka orang-orang yang teguh imannya.

Khalifah Abu Bakar mengkehendaki agar ancaman terhadap pembelot Islam itu dihapuskan sampai ke akarnya. Maka dibentuknya sebelas pasukan tentera, terdiri daripada kuam Muhajirin dan kaum Ansar. Lalu dikirimnya ke seluruh jazirah ‘Arab, untuk mengembalikan orang orang yang murtad dan memerangi siapa yang membangkang.

Kelompok orang-orang murtad yang paling jahat dan besar ialah kelompok Banu Hanifah yang dipimpin oleh Musailamah Al-Kazzab. Jumlah mereka tak kurang dari empat puluh ribu orang, terdiri daripada prajurit-prajurit kental dan berpengalaman perang. Kebanyakan mereka murtad dan mengikuti Musailamah kerana fanatik kesukuan, bukan kerana percaya kepada kenabian Musailamah.

Sebahagian mereka berkata, “Saya tahu Musailamah itu bohong dan Muhammad lah Nabi yang benar. Tetapi kebohongan Bani Rabi‘ah (Musailamah) lebih saya sukai daripada kebenaran Bani Mudhar (Muhammad).’

Tentera Muslimin yang pertama-tama datang menyerang Musailamah dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal. Pasukan ‘Ikrimah dapat dikalahkan tentera Musailamah. sehingga kucar-kacir dan Ikrimah sendiri tewas sebagai syahid.

Sesudah itu dikirim oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq pasukan kedua di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Dalam pasukan Khalid ini terdapat pahlawan-pahlawan Ansar dan Muhajirin. Di antara mereka terdapat Al Bara’ bin Malik Al-Anshary, dan beberapa pahlawan muslim lainnya.

Pasukan Khalid bertemu dengan pasukan Musailamah di Yamamah. Pertempuran segera terjadi tak dapat dihindar. Belum lama kedua pasukan itu bertempur, ternyata pasukan Musailamah lebih unggul. Mereka dapat mendesak mundur pasukan Khalid dari posisinya, hingga pasukan Musailamah berhasil menyerbu sampai ke perkhemahan Khalid bin Walid dan menghancurkan perkemahan itu. Bahkan isteni Khalid nyaris terbunuh ketika itu, seandainya tidak diselamatkan pengawal.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Khalid melompat ke tengah-tengah pasukannya dan mengubah susunan pasukan. Kaum muhajirin, kaum Ansar, dan prajurit yang terdiri anak-anak desa dipisah-pisahkannya mengikut kelompok masing-masing. Tiap-tiap kelompok dikepalai salah seorang dari kelompoknya sendiri. Dengan begitu Khalid dapat mengetahui kesanggupan masing-masing, serta mengenal pasti di mana letak kelemahan tentera muslimin.

Kini kedua pasukan berbuku-hantam dan tebas-menebas dengan sengit dan mengerikan. Kaum muslimin memperlihatkan kemampuan yang belum diperlihatkannya daripada tadi.

Tentera Musailamah bertahan di medan tempur bagaikan gunung, kukuh dan kuat. Mereka tidak peduli walaupun korban banyak jatuh di pihak mereka. Kaum muslimin memperlihatkan keberanian luar biasa, yang kalau dihitung-hitung sesungguhnya merupakan peristiwa yang sangat mengerikan.

Tsabit bin Qais yang memikul bendera Ansar. Dia melilit tubuhnya dengan kain kafan kemudian digalinya lubang setinggi betis. Lalu dia turun ke dalam lobang itu. Dia bertahan di lubang itu mengibarkan bendera kaumnya sampai tewas sebagai syahid.

Zaid bin Khattab, saudara ‘Umar bin Khattab r.a., memanggil kaum muslimin, “Wahai kaum muslimin, bertempurlah dengan gigih! Tewaskan musuh-musuh kalian dan terus maju. Wahai manusia! Demi Allah! Saya tidak akan berbicara lagi sesudah ini sampai Musailamah dihancurkan, atau saya syahid menemui Allah. Saya akan perlihatkan kepada Allah bukti bahwa saya betul-betul syahid.’

Kemudian dia maju menyerang musuh, bertempur sampai tewas sebagai syahid.

Lain pula dengan Salim maula Abu Hudzaifah, pembawa bendera kaum Muhajirin. Kaumnya khuatir dia lemah atau takut. Kata mereka kepada Salim, “Kami sangsi dengan keberanian Anda menghadapi musuh.”

Jawab Salim, “Jika kalian sangsi terhadap saya, biar saya menjadi pembawa bendera Al Quran.“

Kernudian dia menyerbu musuh-musuh Allah dengan berani sehingga Ia tewas pula sebagai syahid.

Tetapi kepahlawanan mereka belum seberapa dibandingkan dengan kepahlawanan Al Bara’ bin Malik r.a. Ketika Khalid melihat api pertempuran semakin berkobar, dia berpaling kepada Al-Bara’. Kata Khalid memerintah, “Kerahkan mereka, hai pemuda Ansar!



Al-Bara’ berteriak memanggil kaum Ansar, ‘Wahai kaum Ansar, Jangan kalian berfikir-fikir hendak kembali ke Madinah. Tidak ada lagi Madinah sesudah hari ini. Ingatlah kepada Allah semata-mata. . kemudian kepada syurga.”

Sesudah berkata begitu dia maju mendesak kaum musyrikin, diikuti prajurit Ansar. Pedangnya menari lincah menebas musuh-musuh Allah. Melihat prajuritnya banyak berguguran, Musailamah dan kawan-kawan menjadi gentar. Kerana itu mereka lari berlindung dalam sebuah benteng. Beneteng itu kemudian terkenal dalam sejarah dengan nama “Benteng Kematian”, karana banyaknya manusia yang terbunuh dalam benteng itu.

Benteng maut itu adalah tempat lari terakhir bagi Musailamah dan tenteranya. Pagarnya tinggi dan kukuh. Musailamah dan puluhan ribu tentaranya mengunci pintu rapat-rapat dari dalam. Mereka bertahan dalam benteng itu. Dari puncak pagar mereka menghujani kaum muslimin yang berusaha masuk benteng dengan panah.

Kata Al-Bara, “Angkat saya dengan tombak dan lindungi saya dengan perisai dan panah-panah musuh. Sesudah itu lemparkan saya ke dalam benteng dekat pintu. Biarlah saya syahid untuk membukakan pintu bagi kalian.”

Dalam sekejap Al-Bara’ sudah berada di atas perisai. Tubuhnya ringan, kerana badannya kurus kecil. Sepuluh orang pemanah melemparkannya ke dalam benteng maut. Al-Bara’ meluncur di atas ribuan tentara Musailamah. Kehadirannya menyebabkan mereka ngeri bagaikan disambar petir. Sementara itu Al-Bara’ sudah berhasil memukul tewas sepuluh orang penjaga pintu. Al-Bara’ segera membukakan pintu bagi kaum muslimin. Namun begitu Al-Bara’ tak luput dari sentuhan pedang dan goresan panah yang menyebabkan 80 luka lebih ditubuhnya.



Kaum muslimin tumpah ruah menyerbu ke dalam Benteng maut.. Pedang mereka berkelibat di tengkuk orang-orang murtad. Lebih kurang dua puluh ribu orang korban yang tewas di pihak mereka termasuk pemimpin mereka, Musailamah Al-Kadzab.

 Al Bara’ segera dinaikkan kawan-kawannya ke atas kenderaan untuk diubati. Sebulan lamanya Khalid merawat dan mengubati Al Bara’ sampai dapat menyembuhkan luka-lukanya. Dia memuji dan bersyukur kepada Allah yang telah memberi kemenangan bagi kaum muslimin.

Al Bara’ bin Malik Al-Ansary sangat merindukan kematian sebagai syahid. Dia kecewa kerana gagal memperolehnya di Benteng Maut. Maka sejak itu dia selalu menceburkan diri dalam peperangan untuk mencapai cita-cita besarnya, dan kerana rindu hendak segera bertemu dengan nabinya yang mulia.

 Ketika perang penaklukan kota Tustar di Persia, tentera Persia berlindung dalam sebuah puri. Puri itu merupakan benteng yang kukuh bagi tentera Persia . Temboknya tinggi, besar, pintu-pintunya kuat dan kukuh. Kaum muslimin mengepung dengan ketat. Setelah mereka terkepung begitu lama, akhirnya mereka mendapat kesulitan. Mereka menghulurkan kait-kait besi yang panas membara dari puncak pilar untuk mengait tentera muslimin. Tentera muslimin yang terkait mereka angkat ke atas, adakalanya langsung tewas atau setengah tewas.

Dalam perang Tustar inilah dia berdo’a kepada Allah semoga dia diberi rezeki sebagai golongan syuhada. Allah memperkenankan do’anya.

 Saudara kandungnya Anas bin Malik terkait oleh pengait berapi itu. Ketika Al Bara’ melihat saudaranya terkait, dia melompat ke dinding benteng dan melepaskan pengait dari tubuh saudaranya. Tangan Al Bara’ terbakar dan melepuh memegang pengait yang panas membara. Tetapi dia tidak peduli asal saudaranya lepas dari pengait itu. Kemudian dia berhasil turun dengan jari-jemari tangannya tanpa daging.

 Maka orang-orangpun berkata kepada Bara’ bin Malik, "Wahai Bara’, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda kepadamu, sesungguhnya jika engkau memohon kepada Allah S.W.T pasti Dia mengabulkan, maka berdo`alah kepada-Nya untuk kehancuran musuh". Bara’ lalu berdo`a memohon kehancuran pasukan musuh dan agar dirinya mendapat syahid bertemu dengan Nabi-nya yang mulia. Allah mengabulkan doa`nya sehingga kaum muslimin berhasil melumpuhkan lawan, dan Bara’ pun memperoleh apa yang selama ini dicita-citakannya, syahid dijalan Allah.

 Bara’ …betapa wangi merah darahmu…kamipun rindu menyusulmu.

Semoga Allah menjadikan wajahnya begemerlapan di syurga, menemani Nabinya. Amin! //sumber:abu Izzudin(http://www.facebook.com/note.php?note_id=231992310148212)

Minggu, 29 Mei 2011

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah


Syeikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin al Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An Numairy Al Harani Adimasqi Al Hambali. Beliau adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul n yang telah dimatikan oleh banyak orang.
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tungganganpun pada mereka.
Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah l. Akhirnya mereka bersama kitab- kitabnya dapat selamat.
Pertumbuhan Dan Ghirahnya Kepada Ilmu
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al Quran dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hufazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At Thabarani Al Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: “Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Pujian Ulama
Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah … dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah n serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya. Kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manusia seperti Anda.”
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al ‘Allamah Kamaluddin bin Az Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu. Orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan. Jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujjahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”
Imam adz Dzahabi t (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami. Paling hebat pemahamannya terhadap al Kitab was Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ketujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain adz Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), al jarhu wat ta’dil, thabaqah-thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya”. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist”.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
Kehidupan Penjara
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang (bisa) diperbuat musuh padaku. Aku, taman dan kebunku ada dalam dadaku. Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat. Kematianku adalah mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.”
Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.
Pengagum-pengagum beliau di luar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau. Diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah l, selalu beristighfar, bertasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah. Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah l merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surga.
Wafatnya
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, al ‘allamah Ibnul Qayyim t.
Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al Quran. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al Quran 80 atau 81 kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’ Bani Umayah sesudah shalat dhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para umara’, ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzulhijjah 728 H, dan dikuburkan pada waktu ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al Islam Syarafuddin.
 Wallahu a’lam.
(Dikutip: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq.
http://www.ahlulhadist.wordpress.com )

Abu Qatadah Al-Falisthiny






Nama Aslinya Umar Mahmud, kunniyahnya (gelarnya) Abu Umar dan lebih dikenal dengan Abu Qatadah. Ia berkebangsaan Yordan keturunan Palestina. Ia termasuk orang yang sangat dicari para penguasa thaghut di banyak penjuru negeri disebabkan aktivitas dakwahnya. Terakhir dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Negeri Yordania dan ia sekarang menjadi tahanan di salah satu penjara milik penjajah inggris.

Thaghut Amerika menuduhnya sebagai mufti (ahli fatwa) tanzhim Al-Qaeda, dikatakan pula bahwa ia divonis hukuman seumur hidup akibat sebagian pelajaran yang ia berikan di penjara Jerman yang pernah ditempati Asy-Syahid –Insya Allah- Muhammad Atha’ dan rekan-rekannya rahimahumullah (sekelompok orang yang bertanggung jawab dalam serangan 11 September 2001 yang barakah di New York).

Hubungannya dengan mujahidin adalah hubungan antar sesama muwahhid (ahli tauhid) dan ahli Iman. Dan sungguh pemahamannya akan keterikatan iman serta loyalitas (wala’) di antara kaum muslimin lebih kuat terhadap tanzhim manapun.

Syaikh Abu Qatadah mendapatkan gelar magister dalam bidang ushul fiqh.

Siapa pun yang membaca karya tulis beliau pasti akan melihat apa-apa yang Allah cintai dengannya atas pemahaman dan ulasannya yang mendalam terhadap manhaj salaf. Seperti halnya para mujadid di setiap zaman, langkah-langkah tajdidnya senantiasa diiringi dengan penguasaannya terhadap ilmu ushul fiqh, perkara-perkara keimanan, i’tiqad (keyakinan) serta metodologi para ulama salaf yang jauh dari jalan para ahli kalam yang telah merusak ilmu-ilmu dien. Dengan keilmuannya, ia juga mengetahui metodologi para ahli kalam secara mendetail sehingga ia pun mampu menjawab subhat-subhat mereka.

Syaikh Abu Qatadah memiliki pandangan mengenai perkara-perkara kauniyah dan kehidupan yang bisa dirasakan dari kedalaman serta komprehensif pemikirannya. Semuanya itu ia kembalikan dalam rangka perhatiannya terhadap perkara-perkara syar'i dan taqdir, dan itulah salah satu kelebihan beliau dibanding dengan ulama yang lain. Di mana perhatian terhadap hal tersebut banyak diabaikan oleh orang-orang alim sebagai konsekuensi mereka dalam menyibukkan diri terhadap ilmu dan fikih.

Konsentrasi beliau dalam bidang ushul fiqh –yaitu yang bersifat teoritis, epistemologis, dan praktis- juga telah menjadikannya mempunyai pemahaman yang tidak banyak mata yang membaca bantahan-bantahan dan pandangannya mampu untuk menyalahkannya. Ia juga memiliki teori yang sangat mendalam untuk menentukan batas-batas kebenaran dan kesalahan i’tiqad yang dianut kelompok ataupun thaifah yang ada, berikut penyebab dan penyakitnya. Ia mampu menghukumi mereka secara mendetail baik kelompok maupun jamaah sesuai dengan keadaan yang bermacam-macam, juga sesuai dengan yang nampak dari mereka. Selain itu, dengan ushul fiqh menjadikannya memiliki pandangan yang syumul sehingga hampir-hampir saja ia menulis tentang firqah-firqah (kelompok) yang terdapat di dalamnya subhat dan kesalahan dengan cara menganalisa firqah-firqah tersebut dengan firqah-firqah telah lama ada.

Walau demikian halnya, beliau sama seperti manusia layaknya yang memiliki kesalahan dan penuh kritik. Dan tidaklah suatu harakah yang mengedepankan para ulama berikut perwira-perwiranya secara berlebihan hingga tidak ada kritik atas mereka sama sekali, maka harakah tersebut tidak akan pernah mencapai tujuan-tujuannya, tidak pula dapat mentarbiyah anggotanya secara bertanggung jawab, bahkan tarbiyah yang terjadi bak seorang budak yang selalu dibentak.


Karya-karya beliau

Kesibukan dan semangatnya terhadap ilmu tidaklah melewatkan dirinya untuk menulis, men-tahqiq (mengoreksi) , serta men-takhrij hadits-haditsnya. Berikut ini adalah karya-karya beliau, di antaranya:

·         Kitab ”Ar-Raddu Al-Atsariy Al-Mufîd ’Ala Al-Bayjuriy fî Syarhi Jawharati At-Tawhid” kitab pertama yang beliau tulis dan telah diterbitkan dua kali.
·         Kitab ”Tajrîdu Asma'i Ar-Ruwât Al-Ladzîna Takallama Fîhim Ibnu Hazm” beliau tulis bersama rekan-rekannya yang lain, diterbitkan oleh Dâr Al-Manâr, Yordania.
·         Kitab ”Al-Jihad wa Al-Ijtihad ta'ammulât fî Al-Manhaj” diterbitkan oleh Dâr Bayâriq, Yordania.
·         Kitab ”Ma’âlimu Ath-Thâifati Al-Manshûrati” diterbitkan dua kali oleh penerbit Dâr An-Nûr Al-lslâmy, Denmark.
·         Kitab ”Nazhratu Al-Jadîdati Fî Al-Jarhi Wa Al-Ta’dîli”
·         Kitab ”Ju’natu Al-Muthayyibîn
·         Beliau men-tahqiq (memberikan catatan kaki & koreksi) beberapa kitab di antaranya:
-          Kitab ”Tharîqatu Al-Hijratain” karya Ibnu Al-Qayyim terbitan Riyadh: Dâr Ibnu Al-Qayyim, diterbitkan dua kali.
-          Kitab ”Ma’âriju Al-Qabûl fî Syarhi Sullami Al-Wushûl” Karya Syaikh Hâfidz Hakamiy, terbitan Dâr Ibnu Al-Qayyim dan Dâr Ibnu Hazm diterbitkan lima kali, beliau juga yang men-takhrij hadits-haditsnya.
-          Kitab ”Al-Ikhtilâf Fî Al-Lafzhi” karya Ibnu Qutaybah, diterbitkan oleh Dâr Ar-Râyah.
-          Kitab ”Al-Ghurbah” karya Ibnu Al-Qayyim, diterbitkan oleh Dâr Al-Kutub Al-Atsariy.
-          Kitab ­”Kasru Al-Shanam” Karya Al-Imam Barqi’iy diterbitkan oleh Dâr Al-Bayâriq, Yordania.
-          Kitab ”Hukmu Al-Khuthabâ’i wa Al-Masyâyihi Al-Ladzîna Dakhalû fî Nushrati At-Thaghût” yang terdapat di dalamnya fatwa-fatwa para Imam bermazhab Maliki.

Dan masih banyak lagi karya yang sangat berharga sehingga siapa pun yang membacanya akan mengetahui keilmuannya yang luar biasa.

Sebagaimana sumbangsihnya dalam berbagai tulisan, Ia juga memiliki tulisan yang terkait dengan masa kekinian yang dibuat ringkas namun kaya dengan ilmu syar'i yang lazim diketahui oleh seorang muslim. 200 karya tulisnya berupa makalah dan artikel tersebar di berbagai majalah serta tabloid Islam. Seperti tabloid Al-Anshar, Majalah Nidaul Islam, Al-Minhaj, Al-Fajr, dsb.
Pada karya-karya tulis tersebut sangat nampak kemahiran beliau dalam ilmu bahasa dan sastra Arab, bahkan ia memiliki beberapa bait qasidah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu syar'i.

Selain menulis beliau tidak melalaikan untuk selalu berdakwah juga menyampaikan ilmu-ilmunya di majelis-majelis ilmu serta menjadi pemateri pada daurah-daurah ilmiah. di mana setiap mereka yang menyimak materi-materi yang ia sampaikan dapat menyaksikannya keluasan ilmunya. Patut disyukuri alhamdulillah, karena materi-materi tersebut banyak didokumentasikan oleh para thalabul ilmi di banyak majelis ilmu beliau.

Di antara daurah-daurah ilmiah di mana beliau menjadi pematerinya ialah:

·         Daurah Kitab ”Syarh Al-Muqizhah” karya Al-Imam Adz-Dzahabi
·         Daurah tentang Al-Iman, menurut Ahlu As-Sunnah serta bantahan bagi mereka Ahlu Al-Bida’.
·         Daurah Kitab “Syarh Al-Aqidah Thahawiyyah”
·         Daurah Kitab “Ad-Duraru Al-Madhiyyah” karya Asy-Syawkany.
·         Daurah tentang Syarh kitab Ibnu Rajab Al-Hanbaliy “Taqriru Al-Qawaid wa Tahrîru Al-Fawaid”
·         Daurah tentang Syarh “Fîha Muqaddimah fî Ushul Al-Fiqh ‘Ala Thariqati Al-Mutaqaddimayn”
·         Daurah tentang Syarh kitab “Jima’u Al-Ilmi” karya Al-Imam Asy-Syafi’î.

Demikianlah biografi singkat mengenai Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthiniy hafizhahullah, walau dapat dikatakan belum mampu mewakili untuk menjelaskan hakikat syaikh yang saat ini masih dalam tahanan penguasa thaghut yang zalim.

Semoga Allah menempatkanmu wahai Syaikh Abu Qatadah Hafizhakumullah di antara kaum muslimin dengan sebaik-baik pahala kebaikan yang juga dipanjangkan umurnya serta diberkahi ilmu dan amalnya.


Maraji’: Disarikan dari situs www.tawhed.ws
(MAT)

Ketabahan Seorang Abdullah bin Hudzhafah ra


Namanya Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi bin Sa’id bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’b bin Luay al-Qurasyi al-Sahmi. Adapun Ibunya keturunan dari al-harits bin Abdu Manat.
Beliau adalah sahabat yang termasuk telah lama masuk Islam, Abdullah juga salah seorang shahabat yang ikut hijrah pada putaran ke-dua ke negeri Habasyah bersama saudaranya Qais bin Hudzafah. Abu Said Al-Khudri berkata bahwa Abdullah ikut menyaksikan juga pertempuran perang badar.
Abdullah a pernah diminta Rasulullah untuk mengirimkan surat ke kisra raja persia yang menyerunya agar masuk ke dalam Islam. Ketika sampai di tangan kisra disobeklah surat yang baru diberikan melalui tangan Abdullah tersebut. Setelah Abdullah melaporkan hal itu, Rasulullah n pun berdoa: ”Semoga Allah merobek (menghancurkan) kerajaannya.” selang beberapa lama. Raja kisra pun dibunuh oleh anaknya sendiri.
Kita mungkin akan kagum dan terheran-heran dengan keteguhan Abdullah bin Hudzafah menghadapi kematian. Kecintaannya kepada syahid di jalan Allah melebihi siksaan yang diberikan kepadanya ketika beliau ditawan oleh Kaisar Rum.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Katsir dan yang lainnya ketika Umar ibn Al-Khattab a mengirim pasukannya untuk melawan Rum, seorang di antara pasukan tersebut seorang pemuda yaitu shahabat yang bernama Abdullah bin Hudzhafah a. Maka berlangsunglah peperangan itu berkecamuk dengan dahsyatnya antara kaum muslimin dan pasukan rum.
Peperangan yang amat sengit ini menimbulkan kaisar penguasa Rum saat itu pun merasa takjub dengan keberanian, keteguhan kaum muslimin yang selalu siap menghadapi kematian. Sehingga ia pun meminta kepada anak buahnya untuk menghadirkan di hadapannya beberapa tawanan yang salah satu di antara mereka terdapat Abdullah bin Hudzhafah a.
Diseretlah dihadapan kaisar seorang Abdullah bin Hudzhafah a dengan keadaan tangan diborgol dan kakinya dirantai. Kemudian ketika diberdirikan di hadapan kaisar, diajak bicaralah Abdullah bin Hudzhafah a oleh sang Kaisar, bertambah takjublah sang kaisar dengan mendengar jawaban seorang cerdik cendikia Abdullah bin Hudzhafah a.
Berkata kaisar kepada Abdullah bin Hudzhafah a: ”Masuklah engkau ke dalam agama nasrani! Engkau akan kubebaskan...”
Abdullah pun menjawab dengan tegas: ”tidak !!...”
Dengan pertanyaan yang sama sang kaisar menjanjikan sesuatu yang berbeda kepada Abdullah: ”Masuklah engkau ke dalam agama nasrani! Akan kuberikan separuh dari kerajaanku!”
Maka dijawab Abdullah bin Hudzhafah: ”tidak !!...”
Kaisar pun menambahkan: ”Masuklah engkau ke dalam agama nasrani! Akan kuberikan separuh kerajaanku dan engkau akan aku sertakan dalam pemerintahan juga kekuasaanku..!!”
”Sungguh demi Allah, seandainya engkau memberikan seluruh kerajaanmu, kerajaan bapakmu, juga kerajaan bangsa arab dan bangsa non-arab kemudian aku diminta untuk keluar dari dien yang hanif ini.. takkan ku lakukan !!..” tegas Abdullah.
Maka murkalah sang kaisar: ”Maka aku kan membunuhmu !!..”
Abdullah: ”Bunuhlah Aku !!”
Mendengar jawaban Abdullah, kaisar pun memerintahkan pengawalnya untuk memasung dan mengikatnya pada tiang salib. kemudian disiapkan kepadanya para pemanah. Hingga meluncurlah satu persatu anak-anak panah, namun tak satu pun tidak mengenainya. Di saat itu kaisar terus menawarkan agar Abdullah memeluk agama nasrani, tapi Abdullah walau seakan kematiannya sudah diujung tanduk ia terus menjawab dengan nada penolakan yang sama.
Ketika kaisar merasa belum melihat perubahan dari penolakan Abdullah, maka ia pun meminta para pengawal untuk memenjarakan Abdullah dalam sebuah ruangan. Selama di dalam penjara Abdullah tidak diberi makanan dan air minum. Hingga ketika dilihat oleh kaisar sepertinya Abdullah sudah merasa kelaparan dan kehausan yang sangat. Kaisar pun meminta pengawal untuk memasukkan makanan berupa daging babi dan minuman khamr ke dalam penjara Abdullah.
Setelah dilihatnya oleh Abdullah bin Hudzafah makanan dan minuman tersebut, maka ia pun berkata: ” Demi Allah... Ya Rabbi, Sesungguhnya aku tahu bahwa sekarang aku dalam keadaan mudhthar (darurat), yang dalam Islam saat ini aku dihalalkan untuk memakan makanan dan meminum minuman tersebut, akan tetapi aku tidak menginginkan orang-orang kafir bergembira.”
Maka tak sedikitpun daging babi dan khamr itu disentuhnya. Kemudian melihat hal yang demikian, kaisar pun meminta pengawal memasukkan ke dalam penjara makanan yang baik ditambah seorang wanita muda yang cantik jelita dimake-up sebegitu indah.
Setelah masuk dalam ruangan itu, wanita muda yang cantik jelita ini pun menawarkan dirinya untuk dinikmatinya, dengan rayuan-rayuan yang sangat menggoda serta bernyanyi dengan nyanyian asmara terus ia tujukan kepada Abdullah bin Hudzafah agar mau bercumbu dengannya.
Walau demikian godaan yang diberikan, ternyata keimanan Abdullah bin Hudzafah a mampu memenangkan hawa nafsunya sehingga tak sedikitpun Abdullah bin Hudzafah melirik sang wanita cantik jelita itu.
Merasa kesal tak mampu merayu Abdullah, wanita ini pun keluar dengan penuh marah dan tanda tanya hingga ia pun berkata kepada Kaisar Rum: ”Demi Allah, Sungguh engkau telah memasukkanku ke dalam tempat  lelaki di mana aku tak tahu apakah penghuninya dia seorang manusia ataukah dia sebuah batu, dan dengan ketidakmampuanku merayu dirinya sungguh aku pun menjadi bertambah tidak tahu apakah aku ini seorang wanita ataukah laki-laki”
Kaisar Rum pun tidak berhenti begitu saja, ia memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan tungku api yang diatasnya terpasang wajan besar. Kemudian mulailah dipanasakan minyak pada wajan besar tersebut. Ketika minyak telah mendidih dipanggillah Abdullah bin Hudzafah a dan tawanan yang lainnya. Lantas, dipersaksikanlah pertunjukan melempar tawanan lainnya kedalam penggorengan itu kepada Abdullah. Terlihat manusia matang diatas wajan bak seperti makanan yang matang atau gosong setelah digoreng.
Setelah memperlihatkan hal tersebut kepada Abdullah, kaisar pun kemudian menawarkan kepada Abdullah: ”Engkau hendak masuk agama nasrani atau nasibmu sama dengan mereka yang digoreng itu !!?...”.
Namun begitulah sosok Abdullah bin Hudzafah yang tetap teguh dalam pendiriannya untuk tidak berkata kekafiran. Kaisar pun dibuat marah karenanya, sehingga meminta para pengawalnya untuk melemparkannya ke dalam wajan berisi minyak panas itu.
Ketika telah sampai di hadapan wajan itu dan terasa semilir panas asap yang keluar dari penggorengan menangislah Abdullah bin Hudzafah a, menderailah air matanya dengan deras. Hal tersebut pun menjadikan gembira Kaisar, karena berarti masih ada kesempatan mengajak Abdullah masuk ke dalam agamanya.
”Wahai Abdullah, sudahlah masuk saja engkau ke dalam agama nasrani akan ku bebaskan engkau dari siksaan..!!” tegas Kaisar.
”tidak!” Jawab Abdullah dengan singkat .
Kaisar pun penasaran dengan tangis Abdullah: ”Lantas mengapa engkau menangis..!”
Maka Abdullah pun sambil berderai air mata menjawab: ”Engkau menganggap aku menangis karena hendak menuruti kemauanmu, padahal tidaklah aku menangis melainkan karena diri ini hanya memiliki satu nyawa. Padahal aku lebih suka jika aku memiliki nyawa sebanyak rambut kepala yang ku miliki ini kemudian dengan nyawa itu aku berjuang di jalan Allah,  dan sebanyak nyawa itu pula engkau membunuhku di jalan Allah ini.”
Merindinglah dan terheran-heran sang kaisar mendengar perkataan seorang ksatria itu, sehingga ia pun bermaksud hendak membebaskannya, ia lantas mengatakan kepada Abdullah: ”Ciumlah kepalaku[1]..engkau kan kubebaskan”
Abdullah menjawab: ”Dengan seluruh tawanan yang ada di sini?”
Kemudian kaisar pun mengiyakannya, dan Abdullah pun mencium kening sang kaisar dan dibebaskanlah ia bersama para tawanan yang ada sebanyak 80 orang.
Dalam sebuah riwayat, ketika Abdullah menghadap Umar bin al-Khattab a dan menceritakan tentang kejadian tersebut, maka sang khalifah pun meminta para tawanan yang bebas karenanya untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah.
Subhanallah, di mana pengorbanan kita untuk dien ini sebagaimana shahabat Rasulullah Abdullah bin hudzafah, ia tidak menginginkan kematian melainkan dalam keadaan Islam... Semoga Allah meridhoimu wahai Abdullah bin Hudzafah./Oleh. Abû ‘Azzâm/MAT

Maraji’:
-          Abû Zakariyâ Ibnu Nuhhâs, Masyâri’u al-Asywâq ilâ Mashâri’u al-‘Usyâq, (Beirût: Dâr al-Basyâir al-Islâmiyah, 1417 H, Cet ke-II)
-          Ceramah Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Arifi
-          Ibnu Atsir, Asad al-Ghâbah









Kamis, 07 April 2011

ABDURRAHMAN AL GHAFIQI-1 (Amir Andalusia)

Al-Ghofiqi adalah seorang profil sejati seperti Musa bin Nushair dan Thoriq bin Ziyad, dalam ketinggian cita-citanya dan keluhuran budinya” (Ahli Sejarah)

Selang tak berapa lama dari penguburan pendahulunya, khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah terpilih, Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz –Khulafaur Rosyidin langsung mengevaluasi kembali kinerja para pembantunya di berbagai pelosok negeri. Ada yang ia pecat dan ada pula yang ia angkat.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites