Minggu, 29 Mei 2011

Ketabahan Seorang Abdullah bin Hudzhafah ra


Namanya Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi bin Sa’id bin Sahm bin Amru bin Hashish bin Ka’b bin Luay al-Qurasyi al-Sahmi. Adapun Ibunya keturunan dari al-harits bin Abdu Manat.
Beliau adalah sahabat yang termasuk telah lama masuk Islam, Abdullah juga salah seorang shahabat yang ikut hijrah pada putaran ke-dua ke negeri Habasyah bersama saudaranya Qais bin Hudzafah. Abu Said Al-Khudri berkata bahwa Abdullah ikut menyaksikan juga pertempuran perang badar.
Abdullah a pernah diminta Rasulullah untuk mengirimkan surat ke kisra raja persia yang menyerunya agar masuk ke dalam Islam. Ketika sampai di tangan kisra disobeklah surat yang baru diberikan melalui tangan Abdullah tersebut. Setelah Abdullah melaporkan hal itu, Rasulullah n pun berdoa: ”Semoga Allah merobek (menghancurkan) kerajaannya.” selang beberapa lama. Raja kisra pun dibunuh oleh anaknya sendiri.
Kita mungkin akan kagum dan terheran-heran dengan keteguhan Abdullah bin Hudzafah menghadapi kematian. Kecintaannya kepada syahid di jalan Allah melebihi siksaan yang diberikan kepadanya ketika beliau ditawan oleh Kaisar Rum.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Katsir dan yang lainnya ketika Umar ibn Al-Khattab a mengirim pasukannya untuk melawan Rum, seorang di antara pasukan tersebut seorang pemuda yaitu shahabat yang bernama Abdullah bin Hudzhafah a. Maka berlangsunglah peperangan itu berkecamuk dengan dahsyatnya antara kaum muslimin dan pasukan rum.
Peperangan yang amat sengit ini menimbulkan kaisar penguasa Rum saat itu pun merasa takjub dengan keberanian, keteguhan kaum muslimin yang selalu siap menghadapi kematian. Sehingga ia pun meminta kepada anak buahnya untuk menghadirkan di hadapannya beberapa tawanan yang salah satu di antara mereka terdapat Abdullah bin Hudzhafah a.
Diseretlah dihadapan kaisar seorang Abdullah bin Hudzhafah a dengan keadaan tangan diborgol dan kakinya dirantai. Kemudian ketika diberdirikan di hadapan kaisar, diajak bicaralah Abdullah bin Hudzhafah a oleh sang Kaisar, bertambah takjublah sang kaisar dengan mendengar jawaban seorang cerdik cendikia Abdullah bin Hudzhafah a.
Berkata kaisar kepada Abdullah bin Hudzhafah a: ”Masuklah engkau ke dalam agama nasrani! Engkau akan kubebaskan...”
Abdullah pun menjawab dengan tegas: ”tidak !!...”
Dengan pertanyaan yang sama sang kaisar menjanjikan sesuatu yang berbeda kepada Abdullah: ”Masuklah engkau ke dalam agama nasrani! Akan kuberikan separuh dari kerajaanku!”
Maka dijawab Abdullah bin Hudzhafah: ”tidak !!...”
Kaisar pun menambahkan: ”Masuklah engkau ke dalam agama nasrani! Akan kuberikan separuh kerajaanku dan engkau akan aku sertakan dalam pemerintahan juga kekuasaanku..!!”
”Sungguh demi Allah, seandainya engkau memberikan seluruh kerajaanmu, kerajaan bapakmu, juga kerajaan bangsa arab dan bangsa non-arab kemudian aku diminta untuk keluar dari dien yang hanif ini.. takkan ku lakukan !!..” tegas Abdullah.
Maka murkalah sang kaisar: ”Maka aku kan membunuhmu !!..”
Abdullah: ”Bunuhlah Aku !!”
Mendengar jawaban Abdullah, kaisar pun memerintahkan pengawalnya untuk memasung dan mengikatnya pada tiang salib. kemudian disiapkan kepadanya para pemanah. Hingga meluncurlah satu persatu anak-anak panah, namun tak satu pun tidak mengenainya. Di saat itu kaisar terus menawarkan agar Abdullah memeluk agama nasrani, tapi Abdullah walau seakan kematiannya sudah diujung tanduk ia terus menjawab dengan nada penolakan yang sama.
Ketika kaisar merasa belum melihat perubahan dari penolakan Abdullah, maka ia pun meminta para pengawal untuk memenjarakan Abdullah dalam sebuah ruangan. Selama di dalam penjara Abdullah tidak diberi makanan dan air minum. Hingga ketika dilihat oleh kaisar sepertinya Abdullah sudah merasa kelaparan dan kehausan yang sangat. Kaisar pun meminta pengawal untuk memasukkan makanan berupa daging babi dan minuman khamr ke dalam penjara Abdullah.
Setelah dilihatnya oleh Abdullah bin Hudzafah makanan dan minuman tersebut, maka ia pun berkata: ” Demi Allah... Ya Rabbi, Sesungguhnya aku tahu bahwa sekarang aku dalam keadaan mudhthar (darurat), yang dalam Islam saat ini aku dihalalkan untuk memakan makanan dan meminum minuman tersebut, akan tetapi aku tidak menginginkan orang-orang kafir bergembira.”
Maka tak sedikitpun daging babi dan khamr itu disentuhnya. Kemudian melihat hal yang demikian, kaisar pun meminta pengawal memasukkan ke dalam penjara makanan yang baik ditambah seorang wanita muda yang cantik jelita dimake-up sebegitu indah.
Setelah masuk dalam ruangan itu, wanita muda yang cantik jelita ini pun menawarkan dirinya untuk dinikmatinya, dengan rayuan-rayuan yang sangat menggoda serta bernyanyi dengan nyanyian asmara terus ia tujukan kepada Abdullah bin Hudzafah agar mau bercumbu dengannya.
Walau demikian godaan yang diberikan, ternyata keimanan Abdullah bin Hudzafah a mampu memenangkan hawa nafsunya sehingga tak sedikitpun Abdullah bin Hudzafah melirik sang wanita cantik jelita itu.
Merasa kesal tak mampu merayu Abdullah, wanita ini pun keluar dengan penuh marah dan tanda tanya hingga ia pun berkata kepada Kaisar Rum: ”Demi Allah, Sungguh engkau telah memasukkanku ke dalam tempat  lelaki di mana aku tak tahu apakah penghuninya dia seorang manusia ataukah dia sebuah batu, dan dengan ketidakmampuanku merayu dirinya sungguh aku pun menjadi bertambah tidak tahu apakah aku ini seorang wanita ataukah laki-laki”
Kaisar Rum pun tidak berhenti begitu saja, ia memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan tungku api yang diatasnya terpasang wajan besar. Kemudian mulailah dipanasakan minyak pada wajan besar tersebut. Ketika minyak telah mendidih dipanggillah Abdullah bin Hudzafah a dan tawanan yang lainnya. Lantas, dipersaksikanlah pertunjukan melempar tawanan lainnya kedalam penggorengan itu kepada Abdullah. Terlihat manusia matang diatas wajan bak seperti makanan yang matang atau gosong setelah digoreng.
Setelah memperlihatkan hal tersebut kepada Abdullah, kaisar pun kemudian menawarkan kepada Abdullah: ”Engkau hendak masuk agama nasrani atau nasibmu sama dengan mereka yang digoreng itu !!?...”.
Namun begitulah sosok Abdullah bin Hudzafah yang tetap teguh dalam pendiriannya untuk tidak berkata kekafiran. Kaisar pun dibuat marah karenanya, sehingga meminta para pengawalnya untuk melemparkannya ke dalam wajan berisi minyak panas itu.
Ketika telah sampai di hadapan wajan itu dan terasa semilir panas asap yang keluar dari penggorengan menangislah Abdullah bin Hudzafah a, menderailah air matanya dengan deras. Hal tersebut pun menjadikan gembira Kaisar, karena berarti masih ada kesempatan mengajak Abdullah masuk ke dalam agamanya.
”Wahai Abdullah, sudahlah masuk saja engkau ke dalam agama nasrani akan ku bebaskan engkau dari siksaan..!!” tegas Kaisar.
”tidak!” Jawab Abdullah dengan singkat .
Kaisar pun penasaran dengan tangis Abdullah: ”Lantas mengapa engkau menangis..!”
Maka Abdullah pun sambil berderai air mata menjawab: ”Engkau menganggap aku menangis karena hendak menuruti kemauanmu, padahal tidaklah aku menangis melainkan karena diri ini hanya memiliki satu nyawa. Padahal aku lebih suka jika aku memiliki nyawa sebanyak rambut kepala yang ku miliki ini kemudian dengan nyawa itu aku berjuang di jalan Allah,  dan sebanyak nyawa itu pula engkau membunuhku di jalan Allah ini.”
Merindinglah dan terheran-heran sang kaisar mendengar perkataan seorang ksatria itu, sehingga ia pun bermaksud hendak membebaskannya, ia lantas mengatakan kepada Abdullah: ”Ciumlah kepalaku[1]..engkau kan kubebaskan”
Abdullah menjawab: ”Dengan seluruh tawanan yang ada di sini?”
Kemudian kaisar pun mengiyakannya, dan Abdullah pun mencium kening sang kaisar dan dibebaskanlah ia bersama para tawanan yang ada sebanyak 80 orang.
Dalam sebuah riwayat, ketika Abdullah menghadap Umar bin al-Khattab a dan menceritakan tentang kejadian tersebut, maka sang khalifah pun meminta para tawanan yang bebas karenanya untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah.
Subhanallah, di mana pengorbanan kita untuk dien ini sebagaimana shahabat Rasulullah Abdullah bin hudzafah, ia tidak menginginkan kematian melainkan dalam keadaan Islam... Semoga Allah meridhoimu wahai Abdullah bin Hudzafah./Oleh. Abû ‘Azzâm/MAT

Maraji’:
-          Abû Zakariyâ Ibnu Nuhhâs, Masyâri’u al-Asywâq ilâ Mashâri’u al-‘Usyâq, (Beirût: Dâr al-Basyâir al-Islâmiyah, 1417 H, Cet ke-II)
-          Ceramah Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Arifi
-          Ibnu Atsir, Asad al-Ghâbah









0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites